hihihihi .. jangan salah sangka dulu, gue gak minta maaf sama siapa2 kok. Judul diatas itu adalah judul lakonnya Teater Koma yang digelar di TIM, Jakarta tgl 2 - 15 Maret 2005 lalu. Gue akhirnya bisa nonton juga, pas di hari terakhir, itupun pake telat satu jam. Pementasan kali ini masih dalam suasana duka karena salah satu anggota Teater Koma, Sri Dadi Adhipurnomo, sebulan sebelum pementasan ini, 4 februari 2005 lalu meninggal dunia akibat tumor ganas di kepalanya.
Gue suka teater? Nggak juga. Tapi klo dibilang gue seneng nonton Teater Koma, bisa iya bisa juga tidak karena gue gak selalu nonton setiap pementasan mereka (walopun pengen banget sebetulnya). Gue seneng sama Teater Koma waktu gue masih SD ato SMP *lupa gue* pokoknya sekitar akhir tahun 70-an lah. Waktu itu Teater Koma rutin tampil di TVRI, kalo gak salah sebulan sekali deh *cmiiw*. Entah kenapa gue seneng banget nontonnya. Waktu itu masih ada Didi Petet *belom ngetop kek sekarang*. Syaiful Anwar, Riantiarno dan Ratna Madjid juga masih muda. Wkt itu gue gak tauk klo Teater Koma tuh sering manggung juga, di TIM ato GKJ. Padahal udah banyak loh lakonnya, mulai dari Rumah Kertas, JJ, Kontes 1980, Opera Kecoa, Opera Primadona, Sampek Engtay, Suksesi, Semar Gugat de el el de el el *saking banyaknya*. Yang sempet gue nonton cuma SEMAR GUGAT. Pementasan kali ini bertepatan dengan ulang tahun ke 28 dan merupakan pementasan Teater Koma yang ke 105, baik di TV maupun di panggung.
Teater Koma pimpinan N.Riantiarno merupakan salah satu kelompok teater yang kerap dicekal pementasannya di tanah air. Bisa dibilang Teater Koma merupakan "barang terlarang" di era orde baru heheehe. Pencekalan atas pentasnya untuk pertama kali dilakukan penguasa Orde Baru pada tahun 1978. dan lakonnya ya.. sama dengan kali ini, maaf.maaf.maaf. Hanya saja lakon kali ini di beri sub titel Politik Cinta Dasamuka. Jadi lengkapnya Maaf.Maaf.Maaf.Politik Cinta Dasamuka. Seperti biasa, lakon Teater Koma sarat dengan sindiran dan adegan-adegan yang kocak. Dari mulai cuma senyum sampe ngakak. Menghiburlah pokoknya ...
Tema, struktur dan bahasa ungkapan di lakon kali ini nyaris tidak berubah. Apa yg dipentaskan tahun 1978, tetap hadir. Juga adegan monolog dasamuka *adegan ini pada tahun 1978 setiap hari direkam oleh petugas badan intelejen, juga adegan sidang kabinet kerajaan dan adegan keluhan kaisar karena tahta sudah menjadi sarang kutu busuk. fuiihh .. segitunya*. Sebagai pendukungnya, Maaf.Maaf.Maaf. masih diperkuat pemain tahun 1978 dan masih dengan peran yang sama. Syaeful Anwar sebagai Kaisar Dasamuka/ Ario, Embie C Noer sebagai Dalang, dan Priyo S Winardi sebagai Bandem Prahasta. Pemain lainnya ada Ratna Riantiarno (sebagai istri), Sari Madjid (sebagai nenek sinar/ Uti), Budi Ros (sebagai gembong, anak Dasamuka), Cornelia Agatha (sebagai Sarpakanaka) *gue ampe pangling nih liat aktingnya Lia, laen euy ama di sinetron, top dah*, Tuti Hartati (sebagai Sri/ Trijata, anak perempuan Ario), Dudung Hadi, Alex Fatahillah dll.
Ringkas cerita, Maaf.Maaf.Maaf. Politik Cinta Dasamuka berkisah tentang keluarga yang hidup tenteram di istana. Tapi pada suatu hari Ario, sang kepala keluarga, mengaku dirinya sebagai Kaisar Dasamuka. Ketenangan berubah menjadi kegelisahan. Ario duduk di tahta, berprilaku persis seperti Dasamuka, "menjalankan roda pemerintahan" dan menyebut anggota keluarganya dengan nama-nama wayang. Istrinya disebut Dewi Shinta, adiknya disebut Sarpakanaka, pengasuhnya sejak bayi (Uti) direkrut jadi tukang sihir (nenek sinar) dan kepala pembantu dianggap Patih Bandem Prahasta. Putra sulungnya (Gembong) mendapat peran sebagai Gunawan Wibisana dan putri bungsunya (Sri) disebut Trijata.
Kaisar Dasamuka "versi Ario" tergolong penguasa otoriter. Di benaknya selalu terlintas berbagai mega proyek yang dibangun demi kemaslahatan rakyat banyak, salah satu proyek utamanya adalah MCK Center (Mandi Cuci Kakus Center). Dia juga membentuk KPUM, Komisi Pencegah Unjuk Marah, yang bertugas menyensor kemarahan agar tidak menggangu stabilitas keamanan dan kekuasaan kaisar. Banyak pihak yang mulai berseberangan terhadap ide-ide Ario. Mereka yang kontra satu-persatu mulai dihantam Ario, sang Kaisar Dasamuka, termasuk dua petugas museum yang hendak mensurvey istana Ario, dianggap sebagai Hanoman dan Hanggada, yang di cerita Ramayana akan di bakar di alun-alun. Ario ingin mewujudkan alur pakem kisah Ramayana, jadi Hanoman harus dibakar *padahal Hanoman tak mempan api*, kemudian membakar istana. Itu artinya rumah Ario-lah yang harus dilalap api.
"Sandiwara" Ario mulai mengarah ke adegan yang berbahaya, sehingga anggota keluarga sepakat untuk mengakhiri kegilaan Ario. Akhirnya, dengan sangat terpaksa dan dengan bujukan manis Uti, Ario berhasil dibawa ke Rumah Sakit Jiwa. Tangis keluarga meledak saat Ario berteriak "Et tu Brutus Bandem Prahasta, Tolong! Dasamuka dikelilingi orang-orang gila!". Abis.
Impian mungkin nikmat dan sering membikin terlena, tapi jika lepas kendali, langkah maju bisa tersesat. Ario hanyalah sebuah cermin.
Penasaran dengan "barang terlarang" orde baru?? Nontonlah Teater Koma. Ehh .. tp udah abis yak. Tunggu aja pementasan selanjutnya ..
No comments:
Post a Comment